LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
PENGELOLAAN BAHAN ORGANIK
AGROTEKNOLOGI - B
Oleh :
1.
SANDRA
MAYNITA (1106114376)
2.
DEWI A.
TONDANG (1106114392)
3.
SEPTIAN
EDI SISWANTO (1106111903)
4.
PUTRA
AMIR JAUHARI (1106113750)
5.
BORIS
SATRIO (1106114396)
6.
PARDI
PASARIBU (1006134196)
7.
HARYANTO
SITINJAK (1006135894)
8.
EVAGA
(1006135960)
9.
SUPARMAN
(1006166144)
1. MUKHIBATUL (1106111824)
1. PRADIANTO SIDABUTAR (110611192
. MUNAWIR S. (1106113948)
HANS KENAN TARIGAN (1106114410)
AJUNFADIL ARISTIO (1106114414)
EKO JAYA SIALAGAN (1106114424)
JANRICO VS (1106114426)
KELOMPOK
2
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2013
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Bahan organik
tidak dapat langsung digunakan atau dimanfaatkan oleh tanaman karena perbandingan
C/N dalam bahan tersebut relatif tinggi atau tidak sama C/N tanah. Nilai C/N
merupakan hasil perbandingan carbon dan nitrogen. Nilai C/N serta tanah sekitar
10 sampai 12. apabila bahan organik mempunyai kandungan C atau N mendekati atau
sama dengan C atau N tanah amak bahan tersebut dapat digunakan atau diserap
tanaman. Namun umumnya bahan organiksegar mempunyai C atau N yang tinggi,
seperti jerami padi 50 sampai 70 ; daun-daunan > 50 (tergantuing jenisnya) ;
cabang tanaman 15-60; kayu yang sudah tua mencapai 500.
Prinsip
pengomposan adalah menurunkan C atau N rasio bahan organik hingga sama dengan C
atau N tanah (<20) dengan semakin tingginya C atau N bahan, maka pengomposan
akan semakin lama karena C atau N harus diturunkan. Waktu yang diperlukan untuk
menurunkan C atau N tersebut bermacam-macam dari tiga bulan hingga tahunan. Hal
ini terlihat dari pembuatan humus dialam, dari bahan organik untuk menjadi
humus diperlukan waktu bertahun-tahun (humus merupakan hasil proses lebih
lanjut dari proses pengomposan).
Pengomposan
atau dekomposisi merupakan peruraian dan pemantapan bahan organik secara
biologi dalam temperatur thermofilik (temperatur yang tinggi) dengan hasil
akhir bahan yang cukup bagus untuk digunakan ke tanah tanpa merugikan lingkungan.
Temperatur termofilik terjadi karena kelembaban atau stuasi aerasi yang
tertentu. Setelah temperatur tercapai, mikroorganisme dapat aktif menguraikan
bahan organik. Pengomposan dapat terjadi dalam kondisi aerobik dan anaerobik.
Pengomposan aerobik terjadi dalam keadaan tersedianya oksigen sedangkan
pengomposan anaerobik terjadi tanpa memerlukan oksigen. Dalam pengomposan
aerobik akan dihasilkan CO2, air, dan panas. Sedangkan dalam pengomposan
anaerobik dihasilkan metana atau alkohol, CO2 dan senyawa seperti asam organik.
Dalam pengomposan anaerobik sering menimbulkan bau yang tajam sehingga
pengomposan dapat ditempuh dengan cara aerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi
dekomposisi dapat berjalan lancar apabila kondisi lingkungan terkontrol.
Kondisi yang perlu dijaga dalam proses pengomposan yaitu kadar air, aerasi dan
temperatur.
1. Kadar Air
Kadar air harus
dibuat dan dipertahankan sekitar 60%. Kadar air yang kurang dari 60%
menyebabkan bakteri tidak berfungsi sedangkan bila lebih dari 60% akan
menyebabkan kondisi anaerob. Padahal proses penguraian dengan stardec akan
berlangsung dalam kondisi aerob. Kadar air dapat diukur dengan cara meremas
bahan. Kadar air 60% dicirikan dengan bahan yang terasa basah bila diremas
tetapi air tidak menetes.
2. Aerasi
Pada
dekomposisi aerob oksigen harus tersedia cukup dalam tumpukan. Apabila
kekurangan oksigen, proses dekomposisi tidak akan berjalan. Agar tidak
kekurangan oksigen tumpukan komos harus dibalik minimal seminggu sekali. Selain
tiu, dapat juga dilakukan dengan cara force aeration (menghembuskan udara
dengan kompresor). Namun, pemberian aerasi yang terbaik adalah dengan
pembalikan bahan dan sekaligus untuk homogenisasi bahan.
3. Temperatur
Selama proses
dekomposisi, temperatur dijaga sekitar 60% selama tiga minggu. Dalam temperatur
tersebut, selain bakteri bekerja secara optimal, akan terjadi penurunan C/N
rasio dan pemberantasan bakteri patogen maupun biji gulma.
Pengomposan
dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu pengomposan aerobik, pengomposan anaerobik,
proses kimiawi, dan proses mikrobiologi.
a. Pengomposan
aerobik
Merupakan
modifikasi yang terjadi secara biologis pada struktur kimia atau biologi bahan
organik dengan bantuan oksigen. Dalam proses ini banyak koloni bakteri yang
berperan dan ditandai dengan perubahan temperatur. Pada temperatur <200C
bakteri yang berkembang adalah psikrofilik, temperatur 20-550C
bakteri yang berperan adalah mesofilik, pada temperatur diatas 550C
bakteri yang berperan adalah termofilik. Hasil dari dekomposisi bahan organik
secara aerobik adalah CO2, H2O, humus dan energi. Proses
dekomposisi secara aerobik dapat disajikan dengan reaksi sebagai berikut :
Mikroba aerob
Bahan organik
CO2 + H2O + Humus + Hara + Energi
b. Proses
Pengomposan Anaerobik
Modifikasi pada
struktur kimia dan biologi bahan organik tanpa membutuhkan oksigen. Proses
pengomposan anaerobik akan menghasilkan alkohol, CO2 dan senyawa
lain seperti asam organik. Proses anaerobik biasanya menimbulkan bau yang tajam
sehingga proses pengomposan dilakukan dengan cara aerobik. Kompos anaerobik
sebelum digunakan harus berada dalam keadaan kering. Proses ini diakhiri dengan
perlakuan aerobik untuk mengurangi kandungan bahan beracun.
c. Proses
Kimiawi
Pada saat
proses pengomposan berhubungan erat dengan kimia kompleks. Sebelum
mikroorganisme bekerja, enzim dalam sel tanaman mulai merombak protein menjadi
asam amino. Mikroorganisme menangkap semua bahan yang terlarut seperti gula,
asam amino dan nitrogen anorganik. Selanjutnya amoniak akan diproduksi menajdi
protein. Nitrogen tanaman akan dikonversikan menjadi nitrogen mikrobia menjadi
nitrat. Nitrat merupakan senyawa yang diserap tanaman.
d. Proses
Mikrobiologi
Pada fase
mesofilik jamur dan bakteri pembuat asam mengubah bahan makanan menjadi asam
amino, gula dan pati. Aktivitas mikroorganisme ini menghasilkan panas dan
mengawali fase termofilik di dalam tumpukan kompos.
Faktor Yang Mempengaruhi Proses
Pengomposan
Beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi proses pengomposan yaitu nilai C/N bahan, ukuran bahan,
campuran bahan, mikroorganisme yang bekerja, kelembaban dan aerasi, temperatur
dan keasaman (pH). Hal-hal yang perlu diperhatikan agar proses pengomposan
dapat berlangsung lebih cepat antara lain sebagai berikut :
1.
Nilai C/N Bahan
Semakin
rendahnya C/N bahan, waktu yang diperlukan untuk pengomposan semakin singkat.
2. Ukuran Bahan
Bahan yang
berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses pengomposannya karena semakin
luas yang tersentuh dengan bakteri. Untuk itu bahan organik perlu dicacah
sehingga berukuran kecil. Bahan yang keras sebaiknya dicacah hingga berukuran
0,5-1 cm. Pencacahan bahan yang tidak terlalu kecil karena bahan yang terlalu
hancur (banyak air) kurang baik (kelembabannya menjadi tinggi).
3. Komposisi
Bahan.
Pengomposan
dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat. Pengomposan bahan
organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan kotoran hewan. Ada
juga yang menambah bahan makanan dan zat pertumbuhan yang dibutuhkan
mikroorganisme sehingga selain bahan organik, mikroorganisme juga mendapatkan
bahan tersebut dari luar.
4. Jumlah
Mikroorganisme
Biasanya dalam
proses ini bekerja bakteri, fungi, actinomycetes, dan protozoa. Sering
ditambahkan pula mikroorganisme ke dalam bahan yang akan dikomposkan. Dengan
bertambahnya jumlah mikroorganisme, diharapkan proses pengomposan akan lebih
cepat.
5. Kelembaban dan
Aerasi
Umumnya
mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembaban sekitar 40-60%. Kondisi
tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara optimal.
Kelembaban yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme
tidak berkembang atau mati. Adapun kebutuhan aerasi tergantung dari proses
berlangsungnya pengomposan tersebut aerobik atau anaerobik.
6. Temperatur
Temperatur
optimal sekitar 30-500C. Bila temperatur terlalu tinggi maka
mikroorganisme akan mati. Bila temperatur relatif rendah mikroorganisme belum
dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme dalam proses
pengomposan tersebut akan menghasilkan panas sehingga untuk menjaga temperatur
tetap optimal sering dilakukan pembalikan. Namun ada mikroorganisme yang dapat
bekerja pada temperatur yang tinggi yaitu 800C, seperti Trichorderma
pseudokoninggii dan Cyptophaga sp. Kedua jenis mikroba ini digunakan
sebagai aktivator dalam proses pengomposan skala besar atau skala industri,
seperti pengomposan tandan kosong kelapa sawit.
7. Keasaman
Keasaman atau
pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH
yang baik yaitu sekitar 6,5-7,5. oleh karena itu dalam proses pengomposan
sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk menaikkan pH. Proses
pengomposan dapat dipercepat dengan bantuan beberapa aktivator seperti orgadec,
stardec, EM-4.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
Kompos merupakan bahan-bahan organik (sampah organik) yang
telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme
(bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya (Hadisumitro, 2001). Menurut Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (2003), pengomposan didefinisikan sebagai proses
biokimiawi yang melibatkan jasad renik sebagai agensia (perantara) yang
merombak bahan organik menjadi bahan yang mirip humus.
Terdapat beberapa keunggulan kompos menurut Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (2003) yang tidak dapat digantikan oleh pupuk anorganik,
yaitu : 1). Kompos mampu mengurangi kepekatan dan kepadatan tanah sehingga
memudahkan perkembangan akar dan kemampuannya dalam menyerap hara. 2). Kompos
mampu meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat air sehingga tanah dapat
menyimpan air lebih lama dan mencegah terjadinya kekeringan pada tanah. 3). Kompos
mampu menahan erosi tanah sehingga mampu mengurangi pencucian hara. 4). Kompos
mampu menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad renik seperti
cacing tanah dan mikroba yang sangat berguna bagi kesuburan tanah. Prinsip
dasar pengomposan ialah mencampur bahan organik kering yang kaya akan
karbohidrat dengan bahan organik basah yang banyak mengandung N (Djaja, 2008).
Bahan-bahan yang umumnya digunakan sebagai bahan baku kompos
menurut Djaja (2008) antara lain :
1.
Kotoran Sapi
Kotoran sapi umumnya banyak mengandung air sehingga perlu
dicampur dengan bahan lain yang mengandung karbon kering seperti jerami.
Sementara itu, kotoran sapi perah banyak mengandung air dan N sehingga perlu
dicampur dengan serbuk gergaji agar kandungan airnya dapat menurun dan jumlah
karbon keringnya dapat meningkat.
2.
Kotoran Ayam
Kotoran ayam umumnya mengandung air lebih sedikit dibanding
kotoran sapi namun kandungan N tinggi. Oleh karena itu kotoran ayam sebaiknya
dicampur dengan serbuk gergaji atau serutan kayu. Kualitas kotoran ayam sangat
ditentukan oleh pakan yang diberikan dan alas lantai kandang yang digunakan
sehingga kualitas kotoran ayam petelur tentunya akan berbeda dengan kualitas
ayam potong.
3.
Jerami Padi
Jerami padi biasanya mengandung sedikit air namun kandungan
karbonnya tinggi. Umumnya jerami mudah dirombak dalam proses pengomposan,
kandungan nitrogen di dalamnya lebih sedikit karena sudah digunakan dalam
proses pertumbuhan dan produksi padi. Penggunaan jerami padi sebagai bahan baku
kompos sebaiknya dicacah terlebih dahulu sebelum dicampur dengan bahan lain
agar proses dekomposisi berlangsung lebih cepat.
4.
Serbuk Gergaji
Serbuk gergaji cukup baik digunakan sebagai bahan baku
kompos walaupun tidak seluruh komponennya dapat dirombak dengan sempurna.
Kualitas serbuk gergaji sangat ditentukan oleh jenis kayu, asal daerah
penanaman, serta umur kayu karena semakin tua umur kayu maka semakin sedikit
kandungan air dan zat haranya.
Menurut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2003) terdapat
beberapa faktor penting yang berpengaruh dalam pembuatan kompos yaitu :
1.
C/N ratio bahan yang dikompos
Setiap bahan organik mengandung unsur C (karbon) dan N
(nitrogen) dengan perbandingan yang berbeda-beda. Suatu bahan yang mengandung
unsur C tinggi maka nilai C/N rationya juga akan tinggi, sebaliknya bahan yang
mengandung unsur N tinggi maka nilai C/N rationya rendah. Nilai C/N ratio
tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan proses dekomposisi. Semakin
tinggi nilai C/N ratio suatu bahan maka akan semakin lambat proses pembentukan
komposnya, sebaliknya semakin rendah nilai C/N ratio suatu bahan maka semakin
cepat proses pembentukan komposnya.
2.
Ukuran bahan yang dikomposkan
Semakin kecil ukuran bahan organik yang dikomposkan maka
semakin cepat proses pengomposan yang terjadi karena kerja dari mokroba
pengurai lebih ringan. Sebaliknya semakin besar ukuran bahan organik yang
dikomposkan, maka semakin lama pula terjadinya proses pengomposan karena
kerja dari mikroba pengurai lebih berat. Itulah sebabnya mengapa dalam
pengomposan jerami padi perlu dilakukan pencacahan jerami menjadi ukuran yang
lebih kecil.
3.
Aerasi
Proses pengomposan sebaiknya terjadi dalam kondisi oksigen
yang mencukupi agar aktivitas bakteri aerob dapat berlangsung secara optimum.
Oleh karena itu untuk memberikan aerasi yang cukup perlu disediakan celah-celah
kosong di antara bahan yang dikomposkan untuk memudahkan sirkulasi udara.
Selain itu perlu dilakukan pembalikan tumpukan kompos secara berkala setiap
seminggu sekali agar tersedia aerasi yang baik.
4.
Suhu
Proses dekomposisi bahan organik akan menghasilkan panas
akibat dari metabolisme mikroba pengurai. Pada awal pengomposan suhu tumpukan
bahan akan berada pada kisaran 320C dan lama kelamaan seiring dengan
meningkatnya aktivitas mikroorganisme suhu tumpukan bahan akan terus naik
hingga 600C bahkan bisa mencapai 780C. Tinggi rendahnya
suhu pengomposan sangat bergantung pada jenis bahan yang dikomposkan. Bahan
dengan C/N ratio tinggi akan sulit mencapai suhu tinggi sebaliknya bahanp-bahan
dengan C/N ratio rendah akan dengan cepat mencapai suhu tinggi. Semakin tinggi
suhu yang bisa dicapai maka akan semakin cepat pula proses pengomposan.
Kecenderungan inilah yang menimbulkan cara menyiasati agar pengomposan
berlangsung lebih cepat yaitu dengan cara menutup bahan yang dikompos dengan
terpal atau plastik hitam agar panas yang dihasilkan dari metabolisme mikroba
pengurai tidak keluar tetapi tetap bertahan di dalam.
5.
Kelembapan
Keadaan lingkungan yang lembap sangat diperlukan untuk
aktivitas mikroba pengurai. Kondisi bahan kompos yang terlalu kering akan
menghentikan aktivitas mikroba yang akan menghambat dekomposisi. Sebaliknya
kondisi bahan yang terlalu basah akan menghambat aerasi dan membuat suasana
menjadi anaerobik yang pada akhirnya juga akan menghambat aktivitas mikroba
pengurai. Oleh karena itu kelembapan optimal yang disarankan adalah 40-60 %.
Proses pembuatan kompos dapat berlangsung dari enam bulan
hingga dua tahun, namun dengan pengelolaan kelima faktor tersebut kompos dapat
disiapkan dalam satu bulan bahkan dua minggu untuk kompos dari bahan sampah pasar.
Ciri-ciri keberhasilan pembuatan kompos adalah selam proses pengomposan tidak
menimbulkan bau busuk dan kompos yang dihasilkan berwarna cokelat kehitaman
seperti warna tanah (humus) yang lembap.
Karakteristik fisik kompos yang matang adalah struktur bahan
komposnya sudah remah, media lepas-lepas tidak kompak maupun tidak dapat
dikenali kembali bahah dasarnya. Warna yang terbaik adalah coklat kehitaman.
Warna hitam murni menunjukkan proses fermentasi yang kurang baik karena
teralalu banyak lengas dan kekurangan udara. Warna kekelabuan, kekuningan
menunjukkan kelebihan tanah atau abu. Apabila bahan yang ada di bagian dalam
timbunan kompos terdekomposisi secara anaerob, maka warna akan berubah menjadi
kehijauan pucat dan tidak menunjukkan perubahan meskipun proses dekomposisi
berjalan lanjut. Proses dekomposisi aerob ditunjukkan terjadi perubahan warna
menjadi kehitaman (Sutanto, 2002).
Mikroorganisme efektif (Effective Microorganism (EM)
merupakan kultur campuran berbagai jenis mikroorganisme yang bermanfaat
(bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi, aktinomisetes, dan jamur
peragian) yang dapat dimanfaatkan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman
mikrobia tanah. Pemanfaatan EM dapat dilaksanakan melalui empat cara, yaitu
sebagai larutan stok EM1, larutan EM5, bokashi EM, dan ekstra tanaman yang
difermentasi dengan EM. Manfaat EM bagi pengomposan adalah meningkatkan
kualitas bahan organik sebagai pupuk (Sutanto, 2002 dan Hadisuwito, 2007).
Setiap bahan yang berfungsi meningkatkan aktivitas mikroorganisme
dalam proses dekomposisi disebut bahan aktivator. Aktivator bahan organik
merupakan bahan mengandung nitrogen dalam jumlah banyak dan bermacam-macam
bentuk protein, asam amino dan urea. Beberapa contoh aktivator alami adalah
fungi yang dikumpulkan dari kompos matang, kotoran ternak, darah kering,
beberapa jenis sampah, tanah yang kaya humus, dll. Bahan kimia sintesis
seperti amonium sulfat, sodium nitrat, urea, amoniak dan sebagainya dikenal
sebagai aktivator buatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar