Senin, 14 Oktober 2013

Pengomposan Bahan Organik

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
PENGELOLAAN BAHAN ORGANIK
AGROTEKNOLOGI - B


Oleh :

1.      SANDRA MAYNITA (1106114376)
2.      DEWI A. TONDANG (1106114392)
3.      SEPTIAN EDI SISWANTO (1106111903)
4.      PUTRA AMIR JAUHARI (1106113750)
5.      BORIS SATRIO (1106114396)
6.      PARDI PASARIBU (1006134196)
7.      HARYANTO SITINJAK (1006135894)
8.      EVAGA (1006135960)
9.      SUPARMAN (1006166144)
1.  MUKHIBATUL (1106111824)
1.  PRADIANTO SIDABUTAR (110611192
.  MUNAWIR S. (1106113948)
HANS KENAN TARIGAN (1106114410)
 AJUNFADIL ARISTIO (1106114414)
 EKO JAYA SIALAGAN (1106114424)
JANRICO VS (1106114426)

KELOMPOK 2




PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
             2013



I.                   PENDAHULUAN



1.1. Latar Belakang

Bahan organik tidak dapat langsung digunakan atau dimanfaatkan oleh tanaman karena perbandingan C/N dalam bahan tersebut relatif tinggi atau tidak sama C/N tanah. Nilai C/N merupakan hasil perbandingan carbon dan nitrogen. Nilai C/N serta tanah sekitar 10 sampai 12. apabila bahan organik mempunyai kandungan C atau N mendekati atau sama dengan C atau N tanah amak bahan tersebut dapat digunakan atau diserap tanaman. Namun umumnya bahan organiksegar mempunyai C atau N yang tinggi, seperti jerami padi 50 sampai 70 ; daun-daunan > 50 (tergantuing jenisnya) ; cabang tanaman 15-60; kayu yang sudah tua mencapai 500.
Prinsip pengomposan adalah menurunkan C atau N rasio bahan organik hingga sama dengan C atau N tanah (<20) dengan semakin tingginya C atau N bahan, maka pengomposan akan semakin lama karena C atau N harus diturunkan. Waktu yang diperlukan untuk menurunkan C atau N tersebut bermacam-macam dari tiga bulan hingga tahunan. Hal ini terlihat dari pembuatan humus dialam, dari bahan organik untuk menjadi humus diperlukan waktu bertahun-tahun (humus merupakan hasil proses lebih lanjut dari proses pengomposan).
Pengomposan atau dekomposisi merupakan peruraian dan pemantapan bahan organik secara biologi dalam temperatur thermofilik (temperatur yang tinggi) dengan hasil akhir bahan yang cukup bagus untuk digunakan ke tanah tanpa merugikan lingkungan. Temperatur termofilik terjadi karena kelembaban atau stuasi aerasi yang tertentu. Setelah temperatur tercapai, mikroorganisme dapat aktif menguraikan bahan organik. Pengomposan dapat terjadi dalam kondisi aerobik dan anaerobik. Pengomposan aerobik terjadi dalam keadaan tersedianya oksigen sedangkan pengomposan anaerobik terjadi tanpa memerlukan oksigen. Dalam pengomposan aerobik akan dihasilkan CO2, air, dan panas. Sedangkan dalam pengomposan anaerobik dihasilkan metana atau alkohol, CO2 dan senyawa seperti asam organik. Dalam pengomposan anaerobik sering menimbulkan bau yang tajam sehingga pengomposan dapat ditempuh dengan cara aerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi dapat berjalan lancar apabila kondisi lingkungan terkontrol. Kondisi yang perlu dijaga dalam proses pengomposan yaitu kadar air, aerasi dan temperatur.
1. Kadar Air
Kadar air harus dibuat dan dipertahankan sekitar 60%. Kadar air yang kurang dari 60% menyebabkan bakteri tidak berfungsi sedangkan bila lebih dari 60% akan menyebabkan kondisi anaerob. Padahal proses penguraian dengan stardec akan berlangsung dalam kondisi aerob. Kadar air dapat diukur dengan cara meremas bahan. Kadar air 60% dicirikan dengan bahan yang terasa basah bila diremas tetapi air tidak menetes.
2. Aerasi
Pada dekomposisi aerob oksigen harus tersedia cukup dalam tumpukan. Apabila kekurangan oksigen, proses dekomposisi tidak akan berjalan. Agar tidak kekurangan oksigen tumpukan komos harus dibalik minimal seminggu sekali. Selain tiu, dapat juga dilakukan dengan cara force aeration (menghembuskan udara dengan kompresor). Namun, pemberian aerasi yang terbaik adalah dengan pembalikan bahan dan sekaligus untuk homogenisasi bahan.
3. Temperatur
Selama proses dekomposisi, temperatur dijaga sekitar 60% selama tiga minggu. Dalam temperatur tersebut, selain bakteri bekerja secara optimal, akan terjadi penurunan C/N rasio dan pemberantasan bakteri patogen maupun biji gulma.
Pengomposan dapat dilakukan dengan 4 cara yaitu pengomposan aerobik, pengomposan anaerobik, proses kimiawi, dan proses mikrobiologi.
a. Pengomposan aerobik
Merupakan modifikasi yang terjadi secara biologis pada struktur kimia atau biologi bahan organik dengan bantuan oksigen. Dalam proses ini banyak koloni bakteri yang berperan dan ditandai dengan perubahan temperatur. Pada temperatur <200C bakteri yang berkembang adalah psikrofilik, temperatur 20-550C bakteri yang berperan adalah mesofilik, pada temperatur diatas 550C bakteri yang berperan adalah termofilik. Hasil dari dekomposisi bahan organik secara aerobik adalah CO2, H2O, humus dan energi. Proses dekomposisi secara aerobik dapat disajikan dengan reaksi sebagai berikut :
Mikroba aerob
  Bahan organik CO2 + H2O + Humus + Hara + Energi
b. Proses Pengomposan Anaerobik
Modifikasi pada struktur kimia dan biologi bahan organik tanpa membutuhkan oksigen. Proses pengomposan anaerobik akan menghasilkan alkohol, CO2 dan senyawa lain seperti asam organik. Proses anaerobik biasanya menimbulkan bau yang tajam sehingga proses pengomposan dilakukan dengan cara aerobik. Kompos anaerobik sebelum digunakan harus berada dalam keadaan kering. Proses ini diakhiri dengan perlakuan aerobik untuk mengurangi kandungan bahan beracun.


c. Proses Kimiawi
Pada saat proses pengomposan berhubungan erat dengan kimia kompleks. Sebelum mikroorganisme bekerja, enzim dalam sel tanaman mulai merombak protein menjadi asam amino. Mikroorganisme menangkap semua bahan yang terlarut seperti gula, asam amino dan nitrogen anorganik. Selanjutnya amoniak akan diproduksi menajdi protein. Nitrogen tanaman akan dikonversikan menjadi nitrogen mikrobia menjadi nitrat. Nitrat merupakan senyawa yang diserap tanaman.
d. Proses Mikrobiologi
Pada fase mesofilik jamur dan bakteri pembuat asam mengubah bahan makanan menjadi asam amino, gula dan pati. Aktivitas mikroorganisme ini menghasilkan panas dan mengawali fase termofilik di dalam tumpukan kompos.
Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses pengomposan yaitu nilai C/N bahan, ukuran bahan, campuran bahan, mikroorganisme yang bekerja, kelembaban dan aerasi, temperatur dan keasaman (pH). Hal-hal yang perlu diperhatikan agar proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat antara lain sebagai berikut :
1.   Nilai C/N Bahan
Semakin rendahnya C/N bahan, waktu yang diperlukan untuk pengomposan semakin singkat.
2.      Ukuran Bahan
Bahan yang berukuran lebih kecil akan lebih cepat proses pengomposannya karena semakin luas yang tersentuh dengan bakteri. Untuk itu bahan organik perlu dicacah sehingga berukuran kecil. Bahan yang keras sebaiknya dicacah hingga berukuran 0,5-1 cm. Pencacahan bahan yang tidak terlalu kecil karena bahan yang terlalu hancur (banyak air) kurang baik (kelembabannya menjadi tinggi).
3.      Komposisi Bahan.
Pengomposan dari beberapa macam bahan akan lebih baik dan lebih cepat. Pengomposan bahan organik dari tanaman akan lebih cepat bila ditambah dengan kotoran hewan. Ada juga yang menambah bahan makanan dan zat pertumbuhan yang dibutuhkan mikroorganisme sehingga selain bahan organik, mikroorganisme juga mendapatkan bahan tersebut dari luar.
4.      Jumlah Mikroorganisme
Biasanya dalam proses ini bekerja bakteri, fungi, actinomycetes, dan protozoa. Sering ditambahkan pula mikroorganisme ke dalam bahan yang akan dikomposkan. Dengan bertambahnya jumlah mikroorganisme, diharapkan proses pengomposan akan lebih cepat.
5.      Kelembaban dan Aerasi
Umumnya mikroorganisme tersebut dapat bekerja dengan kelembaban sekitar 40-60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Kelembaban yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat menyebabkan mikroorganisme tidak berkembang atau mati. Adapun kebutuhan aerasi tergantung dari proses berlangsungnya pengomposan tersebut aerobik atau anaerobik.
6.      Temperatur
Temperatur optimal sekitar 30-500C. Bila temperatur terlalu tinggi maka mikroorganisme akan mati. Bila temperatur relatif rendah mikroorganisme belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme dalam proses pengomposan tersebut akan menghasilkan panas sehingga untuk menjaga temperatur tetap optimal sering dilakukan pembalikan. Namun ada mikroorganisme yang dapat bekerja pada temperatur yang tinggi yaitu 800C, seperti Trichorderma pseudokoninggii dan Cyptophaga sp. Kedua jenis mikroba ini digunakan sebagai aktivator dalam proses pengomposan skala besar atau skala industri, seperti pengomposan tandan kosong kelapa sawit.
7.      Keasaman
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas mikroorganisme. Kisaran pH yang baik yaitu sekitar 6,5-7,5. oleh karena itu dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk menaikkan pH. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan bantuan beberapa aktivator seperti orgadec, stardec, EM-4.






















II.                TINJAUAN PUSTAKA



Kompos merupakan bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya (Hadisumitro, 2001). Menurut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2003), pengomposan didefinisikan sebagai proses biokimiawi yang melibatkan jasad renik sebagai agensia (perantara) yang merombak bahan organik menjadi bahan yang mirip humus.
Terdapat beberapa keunggulan kompos menurut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2003) yang tidak dapat digantikan oleh pupuk anorganik, yaitu : 1). Kompos mampu mengurangi kepekatan dan kepadatan tanah sehingga memudahkan perkembangan akar dan kemampuannya dalam menyerap hara. 2). Kompos mampu meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat air sehingga tanah dapat menyimpan air lebih lama dan mencegah terjadinya kekeringan pada tanah. 3). Kompos mampu menahan erosi tanah sehingga mampu mengurangi pencucian hara. 4). Kompos mampu menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad renik seperti cacing tanah dan mikroba yang sangat berguna bagi kesuburan tanah. Prinsip dasar pengomposan ialah mencampur bahan organik kering yang kaya akan karbohidrat dengan bahan organik basah yang banyak mengandung N (Djaja, 2008).

Bahan-bahan yang umumnya digunakan sebagai bahan baku kompos menurut Djaja (2008) antara lain :
1. Kotoran Sapi
Kotoran sapi umumnya banyak mengandung air sehingga perlu dicampur dengan bahan lain yang mengandung karbon kering seperti jerami. Sementara itu, kotoran sapi perah banyak mengandung air dan N sehingga perlu dicampur dengan serbuk gergaji agar kandungan airnya dapat menurun dan jumlah karbon keringnya dapat meningkat.
2. Kotoran Ayam
Kotoran ayam umumnya mengandung air lebih sedikit dibanding kotoran sapi namun kandungan N tinggi. Oleh karena itu kotoran ayam sebaiknya dicampur dengan serbuk gergaji atau serutan kayu. Kualitas kotoran ayam sangat ditentukan oleh pakan yang diberikan dan alas lantai kandang yang digunakan sehingga kualitas kotoran ayam petelur tentunya akan berbeda dengan kualitas ayam potong.
3. Jerami Padi
Jerami padi biasanya mengandung sedikit air namun kandungan karbonnya tinggi. Umumnya jerami mudah dirombak dalam proses pengomposan, kandungan nitrogen di dalamnya lebih sedikit karena sudah digunakan dalam proses pertumbuhan dan produksi padi. Penggunaan jerami padi sebagai bahan baku kompos sebaiknya dicacah terlebih dahulu sebelum dicampur dengan bahan lain agar proses dekomposisi berlangsung lebih cepat.
4. Serbuk Gergaji
Serbuk gergaji cukup baik digunakan sebagai bahan baku kompos walaupun tidak seluruh komponennya dapat dirombak dengan sempurna. Kualitas serbuk gergaji sangat ditentukan oleh jenis kayu, asal daerah penanaman, serta umur kayu karena semakin tua umur kayu maka semakin sedikit kandungan air dan zat haranya.
Menurut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (2003) terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh dalam pembuatan kompos yaitu :
1. C/N ratio bahan yang dikompos
Setiap bahan organik mengandung unsur C (karbon) dan N (nitrogen) dengan perbandingan yang berbeda-beda. Suatu bahan yang mengandung unsur C tinggi maka nilai C/N rationya juga akan tinggi, sebaliknya bahan yang mengandung unsur N tinggi maka nilai C/N rationya rendah. Nilai C/N ratio tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan proses dekomposisi. Semakin tinggi nilai C/N ratio suatu bahan maka akan semakin lambat proses pembentukan komposnya, sebaliknya semakin rendah nilai C/N ratio suatu bahan maka semakin cepat proses pembentukan komposnya.


2. Ukuran bahan yang dikomposkan
Semakin kecil ukuran bahan organik yang dikomposkan maka semakin cepat proses pengomposan yang terjadi karena kerja dari mokroba pengurai lebih ringan. Sebaliknya semakin besar ukuran bahan organik yang dikomposkan,  maka semakin lama pula terjadinya proses pengomposan karena kerja dari mikroba pengurai lebih berat. Itulah sebabnya mengapa dalam pengomposan jerami padi perlu dilakukan pencacahan jerami menjadi ukuran yang lebih kecil.
3. Aerasi
Proses pengomposan sebaiknya terjadi dalam kondisi oksigen yang mencukupi agar aktivitas bakteri aerob dapat berlangsung secara optimum. Oleh karena itu untuk memberikan aerasi yang cukup perlu disediakan celah-celah kosong di antara bahan yang dikomposkan untuk memudahkan sirkulasi udara. Selain itu perlu dilakukan pembalikan tumpukan kompos secara berkala setiap seminggu sekali agar tersedia aerasi yang baik.
4. Suhu
Proses dekomposisi bahan organik akan menghasilkan panas akibat dari metabolisme mikroba pengurai. Pada awal pengomposan suhu tumpukan bahan akan berada pada kisaran 320C dan lama kelamaan seiring dengan meningkatnya aktivitas mikroorganisme suhu tumpukan bahan akan terus naik hingga 600C bahkan bisa mencapai 780C. Tinggi rendahnya suhu pengomposan sangat bergantung pada jenis bahan yang dikomposkan. Bahan dengan C/N ratio tinggi akan sulit mencapai suhu tinggi sebaliknya bahanp-bahan dengan C/N ratio rendah akan dengan cepat mencapai suhu tinggi. Semakin tinggi suhu yang bisa dicapai maka akan semakin cepat pula proses pengomposan. Kecenderungan inilah yang menimbulkan cara menyiasati agar pengomposan berlangsung lebih cepat yaitu dengan cara menutup bahan yang dikompos dengan terpal atau plastik hitam agar panas yang dihasilkan dari metabolisme mikroba pengurai tidak keluar tetapi tetap bertahan di dalam.
5. Kelembapan
Keadaan lingkungan yang lembap sangat diperlukan untuk aktivitas mikroba pengurai. Kondisi bahan kompos yang terlalu kering akan menghentikan aktivitas mikroba yang akan menghambat dekomposisi. Sebaliknya kondisi bahan yang terlalu basah akan menghambat aerasi dan membuat suasana menjadi anaerobik yang pada akhirnya juga akan menghambat aktivitas mikroba pengurai. Oleh karena itu kelembapan optimal yang disarankan adalah 40-60 %.
Proses pembuatan kompos dapat berlangsung dari enam bulan hingga dua tahun, namun dengan pengelolaan kelima faktor tersebut kompos dapat disiapkan dalam satu bulan bahkan dua minggu untuk kompos dari bahan sampah pasar. Ciri-ciri keberhasilan pembuatan kompos adalah selam proses pengomposan tidak menimbulkan bau busuk dan kompos yang dihasilkan berwarna cokelat kehitaman seperti warna tanah (humus) yang lembap.
Karakteristik fisik kompos yang matang adalah struktur bahan komposnya sudah remah, media lepas-lepas tidak kompak maupun tidak dapat dikenali kembali bahah dasarnya. Warna yang terbaik adalah coklat kehitaman. Warna hitam murni menunjukkan proses fermentasi yang kurang baik karena teralalu banyak lengas dan kekurangan udara. Warna kekelabuan, kekuningan menunjukkan kelebihan tanah atau abu. Apabila bahan yang ada di bagian dalam timbunan kompos terdekomposisi secara anaerob, maka warna akan berubah menjadi kehijauan pucat dan tidak menunjukkan perubahan meskipun proses dekomposisi berjalan lanjut. Proses dekomposisi aerob ditunjukkan terjadi perubahan warna menjadi kehitaman (Sutanto, 2002).
Mikroorganisme efektif (Effective Microorganism (EM) merupakan kultur campuran berbagai jenis mikroorganisme yang bermanfaat (bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat, ragi, aktinomisetes, dan jamur peragian) yang dapat dimanfaatkan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikrobia tanah. Pemanfaatan EM dapat dilaksanakan melalui empat cara, yaitu sebagai larutan stok EM1, larutan EM5, bokashi EM, dan ekstra tanaman yang difermentasi dengan EM. Manfaat EM bagi pengomposan adalah meningkatkan kualitas bahan organik sebagai pupuk (Sutanto, 2002 dan Hadisuwito, 2007).
Setiap bahan yang berfungsi meningkatkan aktivitas mikroorganisme dalam proses dekomposisi disebut bahan aktivator. Aktivator bahan organik merupakan bahan mengandung nitrogen dalam jumlah banyak dan bermacam-macam bentuk protein, asam amino dan urea. Beberapa contoh aktivator alami adalah fungi yang dikumpulkan dari kompos matang, kotoran ternak, darah kering, beberapa jenis sampah, tanah yang kaya humus, dll. Bahan kimia sintesis  seperti amonium sulfat, sodium nitrat, urea, amoniak dan sebagainya dikenal sebagai aktivator buatan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar